Jakarta – Microsoft kembali melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang kini menimpa para insinyur perangkat lunak. Yang membuat situasi ini semakin ironis, sejumlah posisi tersebut justru digantikan oleh sistem kecerdasan buatan (AI) yang selama ini mereka bantu kembangkan.
Mengutip laporan CNBC, gelombang PHK ini berdampak pada sekitar 6.000 karyawan secara global. Sementara itu, data internal menunjukkan bahwa sekitar 40% dari posisi yang terpangkas di negara bagian Washington berasal dari divisi software engineering—segmen yang berkontribusi langsung terhadap pengembangan sistem AI perusahaan.
Informasi dari Times of India mengungkapkan bahwa sebelum dirumahkan, beberapa karyawan justru ditugaskan untuk mengoptimalkan performa model AI Microsoft. Namun tak lama berselang, mereka justru harus angkat kaki—peran mereka kini dijalankan oleh sistem yang mereka latih sendiri.
Salah satu tokoh yang terdampak adalah Gabriela de Queiroz, Direktur Artificial Intelligence di Microsoft for Startups. Dalam unggahan di platform X, Gabriela mengungkapkan rasa kecewa sekaligus kehilangan setelah ia dan timnya termasuk dalam daftar PHK.
“💔 Kabar pahit manis: Saya termasuk dalam gelombang PHK terbaru Microsoft,” tulisnya.
💔 Bittersweet news to share: I was impacted by Microsoft’s latest round of layoffs. pic.twitter.com/QPwYJvjQkC
— Gabriela de Queiroz (@gdequeiroz) May 13, 2025
“Apakah saya sedih? Sudah pasti. Hati saya hancur melihat begitu banyak kolega bertalenta yang harus meninggalkan perusahaan. Mereka bukan hanya profesional andal, tetapi juga individu yang benar-benar peduli dan berdedikasi.”
Kebijakan ini muncul di tengah langkah agresif Microsoft dalam memperluas kapabilitas AI di seluruh lini produknya. Pada April lalu, CEO Satya Nadella menyebut bahwa dalam beberapa proyek, hingga 30% kode ditulis langsung oleh AI. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa otomatisasi berbasis kecerdasan buatan mulai menggeser peran konvensional pengembang perangkat lunak.
Analisis Bloomberg menyebutkan bahwa di Washington saja, dari sekitar 2.000 posisi yang dihilangkan, lebih dari 800 di antaranya berasal dari bidang rekayasa perangkat lunak. Artinya, para talenta teknologi yang sebelumnya menjadi ujung tombak inovasi kini justru menjadi pihak yang tergantikan.
Fenomena ini memunculkan diskusi baru di ranah industri teknologi mengenai batas antara efisiensi dan etika dalam implementasi AI. Pertanyaan yang mengemuka: sejauh mana perusahaan teknologi akan terus mengandalkan AI, bahkan jika itu berarti mengorbankan kreator manusianya sendiri?