Jambi – Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Jambi, Jorgi Pasaribu, dengan lantang menyerukan pengusiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) dari Tanah Batak. Sebagai warga asli dari Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan—wilayah yang turut terdampak aktivitas konsesi perusahaan tersebut—Jorgi mengajak masyarakat, akademisi, dan pemuda untuk melawan dengan kekuatan data, bukan sekadar emosi.
“PT TPL bukan hanya ancaman terhadap hutan, tetapi juga terhadap keberlanjutan ekosistem dan peradaban masyarakat adat di sekitarnya,” ujarnya, Selasa, 13 Mei 2025.
Jorgi menjelaskan, operasi TPL yang berlangsung sejak awal 1990-an telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan dalam skala luas. Berdasarkan laporan Forest Watch Indonesia (2021), dari konsesi seluas 186.000 hektare yang dimiliki perusahaan tersebut, sekitar 60 persen tumpang tindih dengan kawasan hutan adat dan lindung di kawasan Danau Toba. Dampaknya bukan hanya deforestasi, tetapi juga degradasi kualitas tanah dan air.
“Penebangan monokultur eucalyptus yang dilakukan TPL mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati. Sistem hutan tropis yang sebelumnya menopang siklus air dan menjaga kesuburan tanah berubah menjadi lanskap industri ekstraktif yang miskin unsur organik,” katanya.
Lebih jauh, ia menyoroti bahwa sistem akar pohon eucalyptus yang dangkal dan rakus air telah memperparah kekeringan musiman di banyak desa. Beberapa studi yang dirangkum dalam publikasi ilmiah Universitas Sumatera Utara (2020) menunjukkan bahwa keberadaan hutan tanaman industri (HTI) seperti eucalyptus menyebabkan penurunan debit air hingga 30% di daerah tangkapan air, serta menyebabkan keretakan tanah dan gagal panen bagi petani sekitar.
Selain dampak ekologis, Jorgi juga mengkritik beban sosial yang diakibatkan TPL. Menurut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hingga 2023 sedikitnya 23 komunitas adat di lima kabupaten di sekitar Danau Toba mengalami konflik lahan dengan PT TPL. Sebagian besar konflik ini berujung kriminalisasi warga, intimidasi aparat, dan kehilangan hak atas tanah ulayat.
“TPL mengklaim legalitas lewat izin konsesi negara, tetapi secara de facto mereka beroperasi di tanah adat yang tidak pernah dilepaskan oleh masyarakat. Ini bentuk penjajahan gaya baru yang dibungkus dengan narasi pembangunan,” tuturnya. Ia menilai, argumentasi korporasi yang menggunakan dalih ‘kontribusi ekonomi’ hanya menipu logika publik. Faktanya, daerah-daerah yang dikelilingi konsesi TPL justru masih berada dalam lingkaran kemiskinan.
Jorgi juga menekankan ancaman jangka panjang. Jika tidak dihentikan, ia memprediksi bahwa kawasan hulu Danau Toba akan kehilangan daya tampung ekologisnya dalam 15–20 tahun ke depan. “Kita sedang menyaksikan apa yang oleh para ahli disebut sebagai ‘ekosida pelan-pelan’. Ini bukan sekadar isu lokal, tapi ancaman terhadap sumber air ribuan warga di Sumatera Utara,” katanya.
Untuk itu, ia menyerukan aksi kolektif. Bukan hanya demo, tapi juga riset, edukasi publik, dan tekanan hukum terhadap negara yang lalai mengontrol korporasi. “Masyarakat adat sudah bersuara, gereja sudah bersuara, mahasiswa juga harus bersuara dengan data dan keberanian,” tegasnya.